Dari Balik Sekat Karantina

Seiring bertambahnya jumlah kasus Virus Covid-19 ini membuat segala sesuatunya berubah. Diawali dengan kasus pertama pada November 2019 lalu, hingga saat ini hampir genap 2 tahun. Dimulai dari menjangkiti pada orang – orang yang tidak dikenal perlahan virus ini mewabah kesekitar bahkan sekeliling kita. Dari awal penetapan wabah ini sebagai pandemi pemerintah mempropagandakan ide ‘Dirumah saja’, dan ini pun mendorong kesadaran masyarakat akan kepentingan kesehatan pribadi lepas pribadinya.

Hingga saat ini pun kita masih berkegiatan dengan orang – orang yang hampir semuanya tanpa muka. Bekerja tanpa muka, berinterkasi tanpa muka, beragama tanpa muka, belajar tanpa muka. Semua bentuk komunikasi dilakukan dari balik pelindung mukanya. Semuanya anonim. Berjabat tangan yang merupakan hal paling ramah sekalipun berubah kebiasaannya menjadi salaman tanpa disertai kontak fisik. Dan dibarengi dengan kebiasan – kebiasan baru itu, pemerintah dan lembaga kesehatan pun mengeluarkan kebijakan dan anjuran baru guna meredam arus terpaparnya Covid-19 ini. Beberapa anjuran kegiatan dan protokol kesehatan pun kencang disuarakan. Sejalan dengan kebijakan tersebut, kegiatan pun sudah mulai dibatasi.

Hampir genap 2 tahun hidup dalam ancaman wabah, akhirnya selembar surat pernyataan dari salah satu rumah sakit swasta di Bogor pun menyatakan jika saya terinfeksi oleh virus Covid-19. Shock menjadi salah satu gejala awal ketika saya dinyatakan terpapar Covid-19. Rumah sakit yang menjadi tempat saya diperiksa,pun menolak untuk saya dirawat dikarenakan ketersediaan kamar sudah habis dan masih ada beberapa antrian yang menunggu untuk dirawat. Akhirnya isolasi mandiri dikediaman pribadi adalah solusinya.

Tidak ada gejala klinis serius yang dirasakan. Dari beberapa banyaknya ciri gejala Covid-19, hanya anosmia yang saya rasakan. Kehilangan indra perasa dan pembau sungguh tidak nyaman. Sepulangnya dari rumah sakit kemarin saya dibekali beberapa obat untuk selama masa isolasi mandiri. Obat anti virus, anti biotik, obat demam, obat batuk, obat alergi dan obat lambung. Padahal saat konsultasi kemarin dengan salah satu dokter IGD saya sempat ditanyakan terkait gejala yang sedang dirasakan, dan dengan spontan saya jawab tidak – untuk beberapa gejala yang ditanyakan.

Dihari pertama isolasi mandiri belum terasa seperti sesuatu yang berbeda – seperti libur diakhir pekan biasa. Diawali bangun pagi, menyeduh segelas kopi, membaca berita, sarapan, mandi, makan buah dan melakukan pelbagai hal biasa dirumah ditambah dengan anjuran dokter seperti banyak berjemur dan menghirup aroma minyak kayu putih. Saat isolasi mandiri asupan makanan sehari hari saya dapatkan dari sanak keluarga yang secara gantian mengirim makanan. Dua hari berselang, perasa dan pembau saya seperti sudah beranjak membaik dan normal.


Isolasi hari ketiga. Bangun pagi, nyeduh kopi. Makan telor rebus 3 hari ini. Berjemur hampir satu jam, makan siang pakai sayur terong, minum susu Bearbrand sorenya. Napsu makan sudah normal, hari ini makan buah 4 kali.

 

Tiga hari menjalani isolasi mandiri, baru saya merasakan jenuh dan suntuk karna harus berdiam diri dirumah – sendiri, tanpa harus berinteraksi sosial secara langsung dengan orang lain. Saya pun mencari alternatif lain untuk menghilangkan rasa bosan selama isolasi, seperti membaca buku dan membaca berita – berita yang biasanya hampir tidak pernah saya buka. Masa isolasi mandiri saya ini dibarengi dengan kebijakan pemerintah yang memberlakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat darurat Jawa – Bali. Kebijakan pemerintah tersebut didorong dengan merabaknya kasus Covid-19 di tanah air yang sudah menyentuh diangka 2.670.046 kasus. Mengutip data dari cnnindonesia.com kasus harian menembus 54.517 kasus per tanggal Rabu, 14 Juli 2021.

Selama masa isolasi mandiri dimana dokter dan praktisi kesehatan menganjurkan untuk meningkatkan imun guna mempercepat pemulihan, media cetak dan online secara masif gencar memberitakan tentang angka kematian. Berita duka menjadi headline dan kabar pembuka hampir diseluruh media pada awal bulan Juli ini. Dan didukung pula oleh beberapa oknum yang ikut menyebarkan kabar tidak sedap seperti itu. Jujur saja, saya tidak perduli akan pemberitaan itu sebab saya memiliki kegiatan lain untuk mengalihkam rasa bosan. Yang menjadi pertanyaan, lantas apakah orang lain juga melakukan hal yang serupa dengan apa yang saya lakukan untuk melepas rasa suntuknya selama isolasi ?  Saya tidak seeogis itu untuk tutup mata terhadap keadaan psikis orang lain.

Para pasien covid kerap membuka sosial media guna mencari informasi terkait kondisi yang dialami atau sekedar untuk melepas rasa penat. Namun beberapa media dan dibantu beberapa oknum yang gemar menyuguhkan informasi tentang kematian dan kabar duka, yang sama saja dengan menyebar ketakutan dan membunuh rasa optimis untuk sembuh. Seperti ingin memukul mental sebagian orang yang sedang menjalani karantina. Tidak membangun rasa percaya diri untuk pulih, dan tidak menjual berita lain seperti cara menjaga kesehatan bagi orang – orang yang masih sehat, mungkin. Bukankah itu lebih bermanfaat guna mencegah bertambahnya kasus ?

Hingga beberapa hari kemarin, media cetak maupun online masih gemar menggoreng – goreng berita duka. Mereka lebih suka kabar buruk. Mereka gemar memberi kepedulian dengan cara paling bijak, yaitu dengan menjual derita. Mereka gemar memberi perhatian dengan cara paling budiman, yaitu memberi kabar buruk. Mereka mengutuk segala bentuk pembunuhan atas nama perang, namun secara masif mereka propagandakan kematian. Informasi harus adil!

Masih dalam masa isolasi, pemberitaan masa PPKM berlangsung. Pemerintah mengeluarkan kebijakan dan menganjurkan perusahaan yang diluar sektor esensial untuk melakukan kegiatannya secara Work From Home. Dan tidak hanya itu, pemerintah juga menganjurkan untuk seluruh pelaku usaha makanan dan minuman untuk tidak melakukan pembelian secara makan dan minum ditempat. Dan dibantu dengan aparatur negara, mereka menyekat jalur – jalur strategis guna membatasi mobilisasi masyarakat. Banyak masyarakat yang terpukul dengan kebijakan – kebijakan sekarang ini. Bak bom waktu, mungkin sebagian orang akan mendukung dan berteriak, ‘Protokol kesehatan!!’ namun sebagian nya lagi teriak, ‘Lapar!!’.

Pemberitaan mulai beralih, tidak sedikit kabar berita menyuguhkan dari pemberitaan kematian menjadi kabar pembangkangan para pedagang kecil yang diperkosa hak berdangangnya atas nama protokol kesehatan. Ternyata ada yang lebih mematikan dari pada Covid-19. Jika Covid mematikan manusia, maka peraturan mematikan kehidupan.

Dari wabah ini terdapat pemahaman bahwa karantina, isolasi atau istilah ‘Dirumah saja’ mengajarkan bahwa makhluk hidup sejatinya adalah makhluk sosial. Begitupun dengan hewan. Semua makhluk hidup tidak suka dikandangi!

Catatan oleh: Firman Cesario