Pernah pada suatu kala di tahun 1930-an seluruh tataran Hindia Belanda berada pada masa ‘kehancuran ilmu pengetahuan’, setelah sejak pertengahan abad ke 19 para ilmuwan seperti Treub selalu memimpikan dunia politik yang dikendalikan dan dibimbing oleh sains. Salah satu permasalahan utama saat itu adalah karena begitu bergantungnya para peneliti dan ilmuwan kepada negara sehingga menjadikan para peneliti dan ilmuwan tersebut kelimpungan begitu dana penelitian dipangkas oleh negara. Hal ini berpengaruh besar juga terhadap Kebun Raya Bogor (dulu masih bernama Lands Platentuin te Buitenzorg) yang merupakan salah satu institusi penelitian keanekaramagaman hayati terbesar di Hindia Belanda. Pada masa tersebut Kebun Raya dan banyak insitusi penelitian di sekitarnya terombang-ambing tidak jelas, apalagi pada tahun 1934 Departemen Pertanian, Industri dan Perdagangan pindah ke kantor di Batavia. Berdasar catatan seorang pengamat yang dikutip oleh Andrew Goos di bukunya Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan “Buitenzorg menjadi seperti kota hantu, kotor di sana-sini dengan banyak rumah-rumah dibiarkan kosong.”
Meskipun setelah itu kegiatan penelitian tidak pernah benar-benar pulih apalagi masih harus lanjut diterpa badai Perang Dunia II, pendudukan Jepang dan masa revolusi yang mengacaukan kehidupan ilmu pengetahuan di Indonesia, Kebun Raya Bogor dan institusi-institusi penelitian di sekitarnya melahirkan para ilmuwan ahli Biologi angkatan pertama di Indonesia.
Satu cuplikan episode dari sejarah panjang kota yang saya ceritakan di atas merupakan sebuah cerminan betapa pada masa lalu elan vital yang menghidupkan Kota Bogor (Buitenzorg) adalah ilmu pengetahuan dan kegiatan penelitian. Semangat yang sama masih terus coba dipertahankan oleh Institut Pertanian Bogor dan beberapa pusat penelitian seperti LIPI, tak lupa juga lembaga garda depan penjaga memori yaitu museum. Dengan antusiasme untuk merekoleksi memori itulah program Tualang Senang yang perdana memilih untuk mengunjungi dua museum yaitu Museum Tanah dan Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia serta menjelajah Jalan Juanda yang merentangkan jarak antara kedua museum tersebut.
Yang menjadi titik awal para peserta Tualang Senang adalah Museum Tanah yang masih menyimpan sejarah tentang gedung yang dulunya merupakan laboratorium argogeologi dan telah berdiri sejak 1905. Kita dapat melihat seluruh informasi tentang ordo-ordo tanah yang ada di Indonesia, pemetaan tanah sejak jaman Hindia Belanda sampai diorama ekosistem tanah. Tampaknya Museum Tanah masih terus akan mengembangkan diri, setelah baru selesai renovasi baru-baru ini lantas mereka sedang mencoba mengembangkan Museum Pertanian yang rencananya akan berlokasi di gedung belakang Museum Tanah.
Setelah mengunjungi Museum Tanah, menyusuri Jalan Juanda menuju Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia dengan berjalan kaki menjadi pilihan yang menyenangkan bagi para peserta Tualang Senang. Melangkahi trotoar yang mengitari Kebun Raya Bogor kita dapat menghirup udara dengan bau tanah dan tumbuhan yang menyegarkan. Jalan Juanda sendiri merupakan jalan yang bersejarah karena merupakan sepotong dari Jalan Daendels yang melewati Bogor. Masih terdapat beberapa gedung bersejarah yang dapat kita temui di sekitar Jalan Juanda seperti misal Gedung Kantor Pos yang di jaman Hindia Belanda berfungsi sebagai Gereja.
Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia baru saja merilis Ruang Introduksinya pada bulan Mei yang lalu. Museum ini adalah salah satu museum di Kota Bogor yang paling serius dan kompleks serta rumit dalam soal koleksi dan pengembangannya yang masih akan berlangsung. Sebelum berganti nama menjadi Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia museum ini lebih dulu dikenal dengan nama Museum Etnobotani. Loncatan yang jauh dari ilmu etnobotani ke sejarah alam Indonesia membawa konsekuensi museum ini masih harus terus berbenah sampai dapat merepresentasikan nama yang disandang. Ke depan rencananya seluruh koleksi museum akan ditampilkan penuh dalam 4 lantai dilengkapi pula dengan ruang teater. Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia menjadi persinggahan terakhir dari rangkaian kunjungan museum dalam edisi perdana program Tualang Senang.
Serpihan-serpihan sejarah masa lalu kejayaan ilmu pengetahuan di Hindia Belanda memang masih banyak tersisa di kota ini. Saya membayangkan Alfred Russel Wallace, Georg Rumphius dan Koesnoto dapat tersenyum kecil di surga sana.
Catatan oleh Reza Adhiatma