Bertumpu Pasar di Bekas Lahan Sewaan

Apa jadinya jika seorang pembesar Hindia Belanda, Gubernur Jenderal Petrus Albbertus van der Parra (1761-1775) tidak menyewakan tanah-tanah di Bogor. Bisa jadi Pasar Bogor yang kemudian mempopulerkan nama Bogor itu tidak akan pernah berdiri. Hasil sewa tanah yang tak dinyana malah memberikan pemasukan hampir separuh pendapatan seorang Gubernur Jenderal.

Bermula dari sewa menyewa tanah dan bergulirnya kegiatan ekonomi yang sebelumnya dilarang, kemudian mendorong orang-orang datang ke Buitenzorg (nama resmi selain Bogor) dan muncullah kebutuhan ekonomi yang lebih besar, yaitu pasokan barang pokok yang menjadi interaksi konkrit antara penjual dan pembeli. Maka pada tahun 1770 dibangunlah pasar pertama yang dikenal sebagai Pasar Baroe itu, pasar yang kemudian lebih populer disebut Pasar Bogor. Dibangun disebuah tempat yang tak jauh dari pusat kegiatan Bupati Kampung Baru, Demang Wiranata (1749-1758) di Sukahati (Empang).

Keuntungan dari praktek sewa-menyewa tanah untuk pasar ini diketahui pada 1777, yaitu pada masa Gubernur Jenderal Reiner de Klerk (1777-1780). Dari 14.000 ringgit penghasilan sang pembesar, 8.000 ringgit diantaranya berasal dari hasil sewa Pasar Baroe. Sebuah kenyataan sejarah yang unik.

Pasar Bogor memang bukan satu-satunya sentra perdagangan tradisional di Kota Bogor, namun sebagai kekayaan sejarah pasar ini menjadinnya sebagai salah satu jejak pusat konsentrasi masyarakat non-Eropa yang diizinkan beroperasi di kawasan elit eropa masa itu. Masa dimana pembangunan struktur dan infrastruktur Buitenzorg, lebih ditujukan untuk kepentingan masyarakat Eropa.

Rampungnya jalur kereta api sepanjang 50 km yang menghubungkan Batavia-Buitenzorg tahun 1873, makin mendorong tingginya aktivitas perekonomian dan meningkatkan status pasar ini dari pasar lokal menjadi pasar regional. Sejak saat itu, Pasar Bogor masuk dalam jalur perdagangan Priangan-Batavia.

Menurut catatan Gerlings, sebagaimana dikutip seorang peneliti urban development Devisari Tunas (2005). Bahwa pada 1870-1880, sekitar 60 % barang yang diangkut dari Buitenzorg ke Batavia adalah hasil bumi, seperti kopi, gula, kentang, kacang, beras, tepung, minyak sayur, minyak, dan kina. Sayur-sayuran segar yang berasal dari perkebunan di Sindanglaya (Puncak) merupakan komoditi terkenal di pasar ini. Kondisi ini membuktikan bagaimana rantai jalur distribusi komoditi masa itu berhulu di Pasar Baroe.

Kini pasar yang terletak di seberang Kebun Raya Bogor ini nyaris tak pernah tidur, dari sekedar jual beli komoditas hasil bumi, menjelma menjadi ruang interaksi dan pergulatan memori mereka yang pernah menjadi bagian sejarah. Keberadaan sebuah jalan yang tertera di peta Bogor 1920 terbitan KITLV bernama Handlestraat turut meramaikan geliat perputaran ekonomi pasar ini.

Handlestraat atau jalan perniagaan adalah nama yang disematkan bagi jalan yang merupakan sepenggal Jalan Raya Pos di selatan Istana Bogor pada tahun 1905. Jalan ini merupakan bagian dari Groote Post Weg (Jalan Raya Pos) yang dibangun tahun 1808. Rute jalan yang melintasi kawasan ini tembus hingga ke Cipanas. Nama Handlestraat mendukung keberadaan Pasar Baroe yang sudah ada sebelumnya, meski pusat perniagaan hanya terkonsentrasi hingga dekat toko ‘Ngesti’. Sampai akhirnya pada tahun 1970 nama jalan Suryakencana mulai resmi digunakan dan dikenal hingga kini.

Tidak dapat dipungkiri, geliat ekonomi kawasan ini telah menyatukan dan menggerakkan individu dari berbagai penjuru untuk terus mewarnai kawasan sekitar Pasar Bogor. Dalam konteks kekinian, ditengah menjamurnya pasar dengan konsep modern, pasar ini tetap diandalkan sebagai salah satu nadi perekonomian penduduk kota.

***

Menyusul rampungnya pembangunan rel kereta api di Buitenzorg, tahun 1881 Stasiun Bogor resmi didirikan. Keberadaan fasilitas ini menandai Buitenzorg lebih siap untuk menerima kedatangan orang-orang dengan berbagai kepentingan, salah satunya ekonomi. Tak jauh dari stasiun sebuah pasar yang kemudian kita kenal bernama Pasar Kebon Kembang (Pasar Anyar) dibangun. Berdiri untuk melayani pelancong yang singgah, sekedar mencari buah-buahan dan hasil bumi lainnya. Pasar ini semula lahan kosong yang sering digunakan untuk pasar malam, bahkan sempat dibangun pula tempat Tonil (sandiwara).

Eman Sulaeman dalam Toponimi Bogor yang dirilis 2003 lalu menyebutkan ada tempat penyimpanan sepeda dan pagar kawat beranyam lebar menghias sekeliling pasar tersebut sampai batas Plantenweg (Jl Kebon Kembang). Pagar yang ditumbuhi pohon merambat berwarna bunga ungu dengan selokan yang mengalir bening di depan pasar tersebut. Narasi yang berkait dengan memori terminal sado dan delman yang tak jauh dari pasar.

Nama dan bentuk Pasar Kebon Kembang tempo dulu mungkin hanya tersisa dalam benak dan bayangan generasi pendahulu kita yang mengalaminya. Pasar yang rapi dan teratur, kios-kios dibangun ukuran yang telah ditentukan. Barang dagangan yang digelarpun tidak boleh keluar dan meluber ke trotoar. Ketentuan lain yang tidak boleh dilanggar adalah mereka harus berdagang pada bangunan luas dan panjang.

Pasar di suatu kota memiliki peranan yang cukup penting, terutama sebagai pusat pelayanan masyarakat akan kebutuhan pokok sehari-hari. Selain tempat interaksi pedadang dan masyarakat, juga wahana kaum pekerja informal mencari nafkah. Pasar merupakan wajah kota yang merupakan cerminan keadaan kota itu sendiri. Baik kebersihannya, ketertibannya maupun keamanannya.

Mengalami berbagai masa evolusi, mulai dari tata ruang hingga musibah kebakaran Pasar Anyar yang terakhir terjadi pada 2004 lalu. Bahkan sampai dengan turunnya Surat Keputusan Walikotamadya Bogor No. 516/SK 443-Um/1987 yang menegaskan Kota Madya Bogor tertutup untuk pergudangan dan perdagangan grosir tahun 1989. Selanjutnya kegiatan grosir dipindahkan ke daerah Kedunghalang yang masa itu masih diwilayah Kabupaten Bogor. SK tersebut meneruskan Perda No. 23/1985 tentang pergudangan di Kota Madya Bogor. Keputusan pemindahan dilakukan karena banyak rumah-rumah disekitar pasar yang berubah fungsi menjadi gudang tetapi tidak memiliki daya dukung lingkungan yang baik.

Mengingat perannya yang cukup penting, pasar tak seharusnya dipandang sebagai beban yang menghadang keindahan dan kebersihan kota. Warga kota ini terbukti masih memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan pasar, bisa diibaratkan ‘tak ada pasar tak ada makan malam’.

Sebagai destinasi pelancong berburu barang maupun pangan ciri khas, pasar sepantasnya diposisikan layaknya ikon kota. Tak semata menangguk pendapatan didalamnya, namun bagaimana memuliakan manusia yang berperan menguatkannya.

Pasar Bogor dan Pasar Kebon Kembang hanya sekelumit dua contoh diantara sepuluh pasar lainnya di Kota Bogor. Keduanya seharusnya bisa semacam Pasar Beringharjo di Jogja atau Pasar Klewer di Solo yang diposisikan dan dipromosikan dengan serius oleh pemerintah daerahnya, menjadi ikon legenda yang sesungguhnya. Rasa-rasanya Bogor memiliki ‘muatan’ yang sama hanya beda cara memperlakukannya. Pemerintah Kota Bogor sejak 2009 sudah mempercayakan pengelolaan 6.540 kios dan los di 12 pasar di Kota Bogor kepada Perusahaan Daerah (PD) Pasar Pakuan Jaya (PPJ). Publik juga marfum jika revitalisasi tengah dikejar PDPPJ sejak 2015 lalu. Semoga warga kota ini diberi kebesaran hati untuk tetap menunggu kembali.

Anggit Saranta