Jalajah Melek Bogor: Dari Pedati sampai Ke Kebon Pala

img_2379Hari ini, tanggal 16 Mei 2016 merupakan hari yang menyenangkan bagi saya dimana saya bisa melakukan Jalajah di Bogor, Jalajah merupakan nama kegiatan yang saya buat, dimana kegiatannya merupakan program dari Melek Bogor, kepanjangan dari Jalajah adalah jalan, jajan dan sejarah, seperti penjelasan sebelumnya, Jalajah dapat saya lakukan karena saya sedang ikut serta dalam tim Melek Bogor, Melek Bogor adalah aktivitas penggalian dana dan informasi mengenai hal-hal Pusaka di Kota Bogor dan hasilnya nanti akan dijadikan Peta yang berisi data dan informasi Pusaka di Kota Bogor yang pastinya memiliki nilai sejarah dan asyik untuk dipelajari. Kegiatan Jalajah Bogor yang pertama ini dilakukan di daerah Surya Kencana, di mana saya dan tim Kampoeng Gudang yang terdiri dari Kang Juna, Ipeh, Teh Indah dan saya sendiri, berkesempatan untuk mempelajari Jalan Pedati Saketeng, Kampung Gudang sampai ke Kebon Pala.

img_2329Jalajah Bogor hari ini di mulai dengan menyusuri jalan Pedati di kawasan Surya Kencana, jalan Pedati merupakan tempat jual-beli tradsional atau yang biasa disebut Pasar Tradisional yang menjual kebutuhan sehari-hari, dari mulai beras, sayuran, buah, sampai sepatu dijual di sana. Ketika masuk, saya dan tim disuguhkan sahut para penjual yang mengundang kita untuk berkunjung dan membeli, sungguh, suasana yang asyik dan ramai, selain itu, kami juga disuguhkan suasana becek yang menurut salah satu pedagang pasar di sana menyerupai sawah. Untuk bisa mendapatkan data, kami mengunjungi dua orang pedagang yang kami anggap tua dan kami dapat memperkirakan bahwa sudah lama berdagang di Pasar Pedati, ternyata, yang satu baru berdagang tiga dan tahun dan yang satu lagi sudah berdagang selama tujuh belas tahun. Diskusi kami bersama pedagang itu adalah mengenai apa arti dan maksud dari nama Jalan Pedati, dan tentunya sudah sejak kapan nama itu digunakan. Dari kedua pedagang tersebut, kami mendapatkan informasi bahwa sejak mereka berjualan nama jalan tersebut sudah Pedati Saketeng, artinya sudah lama, bila kita mengambil perhitungan waktu dari pedagang yang berjualan paling lama, tujuh belas tahun, jadi dapat kita simpulkan bahwa nama jalan tersebut sudah lebih dari tujuh belas tahun, selain itu, nama jalan itupun belum pernah berubah sama sekali semenjak pedagang terebut berdagang di Jalan Pedati. Dari informasi yang sudah kai dapatkan, kami kurang puas, akhirnya kami melanjutkan Jalajah dan menemui salah satu anggota dari Peguyuban Keluarga Pedagang Pedati Saketeng yang kebetulan merupakan orang asli Kampung Gudang, Pa Chenchen namanya. Dari beliau, kami mendapatkan informasi bahwa arti dan maksud dari Jalan Pedati adalah karena merupakan tempat berkumpulnya para Pedati, Pedati merupakan kereta Kuda yang menggunakan roda dari kayu dengan ukuran yang lumayan besar, pada saat itu Pedati digunakan untuk mengangkut penumpang dan barang dagangan, bila kita melihat dari lingkungan sekitar dan kondisi pada masa lampau, Pedati dan Pasar merupakan tempat yang berkaitan, pertama, karena Pasar merupakan tempat keramaian utama untuk melakukan jual-beli dan Pedati merupakan alat trasnportasi yang digunakan pada masa itu, karena dahulu kendaraan roda dua dan empat iyu masih jarang dan hanya digunakan oleh hartawan dan pemerintah, jadi Jalan Pedati dapat kita simpulkan juga sebagai terminal para Pedati pada masa itu. Selain mendapatkan informasi tentang Jalan Pedati Saketeng dari Pa Chenchen yang merupakan hasil perkawinan orang Tinghoa (ayahnya) dengan orang Pribumi (ibunya), kami mendapatkan informasi tentang Lawang Saketeng. Lawang Saketeng merupakan pintu di daerah Saketeng, kenapa pintu?, konon karena di daerah tersebut ada salah satu pintu dari empat pintu yang menghubungkan tempat-tempat pintu itu berada dengan Kebun Raya, menurut beliau pintu tersebut berada di dekat Bank Panin dan ditutup oleh pagar dan keadaannya seperti lorong bawah tanah dan beliaupun menuturkan bahwa belum ada yang mencoba masuk dan membuktikan akan cerita tersebut, karena tidak banyak yang tahu akan lokasi pintu tersebut. Menurut Kang Reza, pintu tersebut merupakan pintu “imajiner” atau hanya imajinasi dan belum tentu benar adanya.

Lalu, Saketeng sendiri adalah aktivitas ngeteng atau dilakukan dengan bertahap dan tidak sekaligus, kita dapat lebih muda meng-analogi-kan ngeteng ini dengan dikaitkan dengan menggunakan kendaraan umum, atau, ada juga yang menyebutkan Saketeng karena ada aktivitas nenteng-nenteng sesuatu, dinamai seperti ini karena Lawang Saketeng adalah pasar tradsional yang pada zaman Kolonial sangat terkenal sebagai pusat perdagangan Ikan Laut se-Asia, bisa ditarik kesimpulan, ada kemungkinan dinamakan Saketeng karena di sana adalah pasar di mana sebuah tempat yang identik dengan menenteng barang sudah dibeli dan orang-orang membelinya dengan konsep mencicil, membeli ikan di suatu tempat, lalu membeli bumbu dapurnya di tempat lain.

img_2357

Setelah berdiskusi dengan Pa Chencen, kami melanjutkan perjalanan ke arah Kampung Cincau dan Kebon Pala, saat di perjalanan, kami melihat sebuah bangunan dengan sentuhan gaya Tionghoa namun sepi, akhirnya kami berani memutuskan untuk masuk, dan ternyata, bangunan itu adalah MAKIN. Saat masuk dan melihat-lihat, ada sesosok bapak-bapak yang sudah tua, berkisar usia 65-70 tahun yang menghampiri dan bertanya kepada kita, sedang apa dan mencari siapa, setelah kami menjelaskan tujuan kami, kami diajak ngobrol-ngobrol dan dijelaskan tentang apa itu MAKIN, MAKIN  yang merupakan akronim dari Majelis Agama Khonghucu Indonesia adalah tempat ibadah khusus Agama Khinghucu, yang aktivitas ibadahnya dilakukan setiap hari minggu an hari-hari tertentu lainnya. Untuk bisa mendapatkan data yang lebih valid, kai diarahkan untuk datang di hari minggu atau membuat jani dengan kepala pengelolanya.

img_2380

Ada beberapa hal yang kai dapat di MAKIN, khususnya mengenai struktur organisasi Agama Khonghucu sendiri. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan ke Kebon Pala, destinasi terakhir di Jalajah I ini, namun, pada saat berjalan, kami melihat ada sebuah gang dengan gapura bergaya Tionghoa, satu kata yang terlontar ketika saya melihat gapura tersebut, unik! Ternyata, yang lainpun sepakat dengan saya dan kami sepakat untuk mengunjungi termpat itu, ternyata ada rumah yang hawanya sejuk karena ada kolam dan air terjun buatan dan semakin menjadi sejuk ketika nuansa hijau dari tanaman-tanaman yang terawat dengan baik semakin membuat suasana menjadi lengkap dan saya hanyut dibawanya. Saat kami turun menuruni anak tangga, ternyata sang pemilik rumah keluar karena ada sensor alarm atau bell yang membuat beliau keluar karena berbunyi, seperti biasa, kami ungkapkan apa tujuan kami berkunjung, lalu kami dipersilahkan dan diterima oleh sang empunya rumah untuk bertanya tentang tempat tersebut, tempat tersebut bernama Pasanggrahan Teratai Putih, yang menurut Pa Yohaness adalah tempat olahraga pernafasan yang didirikan oleh mertuanya, awalnya hanya mertuanya yang melakukannya, naun, seiring berjalannya waktu,banyak yang bergabung sehingga membentuk satu komunitas. Mertua Pa Yohaness merupakan salah satu pendiri Bangau Putih yang paling muda. Kami berdiskusi banyak dengan beliau, lalu beliau menjelaskan bahwa Pasanggrahan adalah tempat kumpul, atau Ngariung dan menjalankan ajaran Tao atau yang dikenal sebagai ajaran Taoisme, sebuah ajaran yang berasal dari Tiongkok, yang mempelajari tentang ilmu keseimbangan dan penghormatan kepada leluhur, Tao sendiri adalah ajaran yang sang penemunya sendiri tidak dapat menyimpulkan Tuhan itu apa, seperti apa Tuhan, dan bagaimana bentuk Tuhan, dan cukup diyakini dan dijalankan saja. Selain itu, kamipun dijelaskan tentang apa perbedaaan Bio,  Vihara, dan MAKIN oleh beliau.  Bio adalah tempat ibadah yang yang menyembah satu dewa, contohnya adalah Bio yang berada di Pulo Geulis yang menyembah Dewa Pan Kho. Di Indonesia Bio sudah sangat sulit ditemukan karena banyak masyarakat yang menganut Agama tersebut kebih banyak ke Vihara atau MAKIN. Vihara sendiri adalah tempat ibadah Tri Dharma atau untuk tiga agama, Hindu, Budha dan Khonghucu, lalu MAKIN adalah tempat ibadah khusus agama Khonghucu. Setelah berdiskusi panjang, datang lah adik ipar Pa Yohaness yang bernama Pa Titih, sosok bapak-bapak yang berpenampilan santai, dengan kaus, celana pendek dan sendal, bertato dan berhasil menipu kami dengan penampilan tersebut karena kami mengira usianya muda, padahal sudah berusia 60 tahun, ketika beliau menginformasikan mengenai usianya di sela-sela diskusi kami sontak kaget dan tidak mengira. Diskusi kami dengan Pa Titih sangat seru, Pa Titih menerima dan antusias berdiskusi bersama kami karena dua hal, yang pertama beliau juga punya peminatan dengan sesuatu yang bernilai sejarah, terutama Sejarah Bogor dan yang kedua karena beliau suka berdiskusi dengan kamu muda. Banyak hal yang kami dapatkan dari beliau, terutama info tentang tempat-tempat bersejarah seperti situs, petilasan dan bangunan Cagar Budaya. Beliau mengarahkan kami untuk datang ke Balaikota karena di sana ada satu buku yang berisi data peninggalan, situs, dan hal-hal lain yang sudah pusaka dan terdata oleh Pemerintah Kota Bogor. Setelah berdiskusi panjang lebar, kami pait karena waktu turun lapang yang sudah hampir habis.

Untuk mengakhiri Jalajah kali ini, rasanya kurang lengkap bila tidak jajan, karena jalan dan sejarahnya sudah dilakukan. Untuk jajan, kami mengunjungi pedagang Es Pala yang berada di pertigaan Kebon Pala yang legendaris itu. Disebut legendaris karena menurut penuturan Si Ibu, beliau sudah berjualan sejak tahun 70-an dan didahului oleh suaminya dan juga orang tuanya, pastinya sudah sangat lama yaaahh. Di tengah suasana yang sudah mulai terik meski awalnya mendung, ditambah banyaknya kalori yang terbakar karena berjalan jauh, nampaknya terobati dengan segelas (padahal saya minum dua, satu gelas lagi Es Jeruk) Es Pala yang rasanya segar dan menurut penuturan dari Sang Ibu penjual Es Pala, Es Pala berkhasiat membuat badan menjadi enak kembali setelah kita kurang tidur atau begadang karena banyaknya tugas, atau karena banyak nyamuk atau karena banyak kenangan bersama dia yang terus berputar di kepala. Es Pala yang segar dan legendaris ini dapat dinikmati dengan harga enam ribu rupiah saja, dan untuk bisa mengunjunginya, kita bisa melewati jalan Surya Kencana, lalu belok kanan ke Jalan Besi (patokannya adalah Bank Niaga) lalu belok kiri, dan gerobak tersebut berada di pertigaan persis dengan keadaan yang sering kita sebut lokasi “tusuk sate”. Kawan-kawan yang ingin menikmati Es Pala silahkan berkunjung, selain Es Pala, kawan-kawan juga dapat menikmati Es Jeruk dan juga Es Campur, bahkan dapat juga menikmati Toge Goreng yang berjualan persis di sebelah gerobak Es Pala.

Tanpa terasa tulisan ini harus diakhiri dengan tanda baca titik dan salam di sebelumnya. Demikianlah tulisan cerita tentang Jalajah kali ini, sebelumnya, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Kampoeng Bogor, Melek Bogor, dan kawan-kawan yang turut serta dalam kegiatan turun lapang ini yaitu Kang Juna, Ipeh, Teh Indah, Kang Reza, Teh Fitrah dan Kang Doni. Mohon maaf bila dalam penulisan ini ada kesalahan, saya menunggu kritik dan sarannya untuk semakin baiknya penulisan ini sebagai bahan informasi yang dapat digunakan sebaik-baiknya juga. Terima kasih atas perhatiannya, sampai bertemu di Jalajah berikutnya.

Salam,

Robby Firliandoko