Jejak Niaga di Suryakencana

Suasana pagi dengan hujan turun memang berpotensi membekap nikmat para penghuni kota ini, maklum Januari menuju Februari sebagaimana diramalkan BMKG, merupakan puncak hujan di Bogor dan sekitarnya. Tak heran suasana pagi apalagi dengan sisa hujan kemarin sore pastinyamenyisakan keengganan untuk beranjak dari peraduan. Tetapi bagi sepenggal jalan di kota Bogor yang ikonik seperti Suryakencana suasana ‘kebanyakan’ itu tak akan berlaku.Hujan tidak hujan kawasan ini tetap bergeliat.

Seperti halnya saya, minat mengunjungi kawasan ini bukan semata jalan-jalan atau berkantor disana, hampir setiap ada keperluan melengkapi kebutuhan perlengkapan rumah tangga, kawasan ini menjadi referensi, pun ketika harus berburu perlengkapan sepeda.Jaya Makmur, Ngesti dan Sumber Waras adalah nama-nama toko langganan begitu menyambangi kawasan ini.

Entahlah, melintasi jalur ini memang penuh sensasi. Jika tak diganggu padatnya lalu lintas atau pengendara roda empat yang menepi tapi lupa sein kiri, rasa sensasinya pasti utuh. Menikmati ruas jalan yang dikenal dengan nama Handelstraat pada 1905-1970, kawasan basis kegiatan Tionghoa yang juga menjadi pusat kegiatan ekonomi sejak 1835. Membayangkan bagaimana Luitenant der Chineezen Lie Beng Hok, seorang Letnan sipil yang mengatur, menguasai dan mengurus stabilitas keamanan komunitas Tionghoa di kawasan ini pada 1912-1913.

Membayangkan utuhnya bangunan atau rumah-rumah toko yang memiliki muka rumah relatif sempit, tetapi memanjang ke bagian belakang. Menekuni sajian arsitektur unik sepanjang jalan, sembari membayangkan kejayaan toko-toko itu pada masanya, dimana warganya saling menyapa.

Sebagian memang masih dapat terlihat dengan jelas, meskipun sudah banyak pula yang rusak dan tidak terawat. Tampaknya pengunjung toko-toko dikawasan ini adalah orang-orang lama yang setia dan tak tergoda ke pusat perbelanjaan modern atau mereka yang dipesan orang tua dan kerabatnya untuk memilih belanja disini. Jarang sekali melihat muda-mudi rapih keluar masuk toko-toko di kawasan ini, kalaupun ada hanya diseputaran ‘Rangga Gading’, tempat dimana Sekolah Tinggi Ekonomi Kesatuan berdiri.

Paling mencolok adalah sebutan Jalan Suryakencana sebagai pusat kuliner Bogor. Sebutan ini membuat jalur Suryakencana kian padat. Banyak orang memberi kesaksian bagaimana tergiurnya mereka dengan aneka jajanan yang tersaji di berbagai gerai yang ada. Ulasan pengalaman ber-kuliner ini sudah beredar di berbagai akun media sosial, lengkap dengan gambar dan panduannya. Meski bagi pesepeda seperti saya harus bersabar, jalur pinggir yang biasa jadi pilihan berubah menjadi zona parkir on the street. Ini merupakan lahan parkir yang direstui Pemerintah Kota berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) 4 tahun 2012.

Dampaknya ya pelintas dengan sepeda seperti saya masih bisa dan diberi kemewahan melintas di jalur tengah bak adegan Premium Rush (2012) di kota Manhattan. Semoga ada niatan pemerintah kota menata kembali parkir di jalan Suryakencana. Penataan yang solutif bagi semua pihak.

Kesan yang melekat kawasan Jalan Suryakencana didominasi pemandangan kumuh yang begitu kental dan terkenal pada beberapa titik, jangan harap bisa menemukan toko dengan tampilan depan yang sempurna, gerai pedagang kaki lima (PKL) rata-rata sudah mendominasi muka toko. Apalagi jika diburu waktu dan terpaksa harus menaklukan jalur sekunder semacam jalan Roda dan Lawang Seketeng. Dominasi angkutan kota yang memenuhi di jalur-jalur sekunder ini secara fisik melengkapi kawasan pecinan terlihat tidak rapih.

Kini Suryakencana tengah berbenah, gapura dengan warna dominan merah bernama Lawang Suryakencana langsung menyambut. Begitu memasuki jalan ini, secara visual tampak berbeda. Ya…Suryakencana memang bersolek. Peluang sebagai salah satu dari 10 kota di Indonesia yang menjadi prioritas Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dimanfaatkan untuk menata fisik kota, salah satunya dengan membangun Gapura Pecinan, tepat di akses masuk Suryakencana, tak jauh dari simpang Jalan Otto Iskandardinata dan Jalan Ir. H Juanda. Bogor terpilih sebagai Kota Pusaka bersama 9 kota lainnya seperti Yogyakarta (DIY), Semarang (Jawa Tengah), Denpasar (Bali), Karangasem (Bali), Banda Aceh (Aceh), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Palembang (Sumatera Selatan), Sawahlunto (Sumatera Barat), dan Bau bau (Sulawesi Tenggara).

Gapura Pecinan di Jalan Suryakencana yang diberi nama Lawang Surya Kencana merupakan salah satu bentuk penataan fisik kawasan pecinan, sisanya untuk pedestrian dengan sitting group, lampu dan tempat sampah. Pemerintah Kota Bogor terus melibatkan sejumlah tokoh masyarakat Tionghoa untuk ikut berpartisipasi menata kawasan pecinan, seiring selesainya pembangunan Lawang Suryakencana sebagai ikon kota pusaka. Secara sukarela warga Jalan Suryakencana mendukung penataan dengan melakukan pengecatan bangunan yang diselaraskan dengan warna Lawang Suryakencana pada akhir Januari 2016 lalu. Tujuannya memperkuat identitas sebagai kawasan Pecinan. Pada akhir Januari 2016.

Pembangunan fisik atau apapun pada suatu kota mamang tak jaman jika meninggalkan peran masyarakat sebagai penerima manfaat (partisipatif). Pilot project pembangunan kota pusaka memang kental mengejar target fisik, meski demikian dalam prosesnya pelibatan warga sudah diupayakan sedemikian rupa dan dibuktikan dengan desain Lawang Suryakencana yang datang dari bawah. Senada dengan pernyataan Reza Adhiatma, salah satu generasi muda kota Bogor yang kini aktif sebagai koordinator Kampoeng Bogor. Menurutnya pembangunan fisik idealnya merupakan konsekuensi dari program non fisik.

“Artinya begitu mencapai keputusan untuk bangun sesuatu itu sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” terang Reza yang bersama komunitasnya kini menggagas kegiatan ‘Melek Bogor’, sebuah kegiatan inventory pusaka yang disandingkan dengan pengembangan aplikasi di android.

***

Tidak dapat dipungkiri, geliat ekonomi kawasan ini telah menyatukan dan menggerakkan individu dari berbagai penjuru untuk terus mewarnai kawasan yang tertera di peta Bogor 1920 terbitan KITLVdengan namaHandlestraat. Handlestraat atau jalan perniagaan adalah nama yang disematkan bagi jalan yang melintas di kawasan pecinan Bogor pada tahun 1905. Jalan ini merupakan bagian dari Groote Post Weg  (Jalan Raya Pos) atau jalan Daendles  yang dibangun tahun 1808. Rute jalan yang melintasi kawasan ini tembus hingga ke Cipanas. NamaHandlestraat mendukung keberadaan Pasar Bogor (Pasar Heubeul) yang sudah ada sebelumnya, meski pusat perniagaan hanya terkonsentrasi hingga dekat toko ‘Ngesti’. Sampai akhirnya pada tahun 1970 nama jalan Suryakencana mulai resmi digunakan dan dikenal hingga kini.

Kawasan ini tumbuh dan berkembang setelah tahun 1835, dimana pemerintah Hindia Belanda melalui Gubernur Jenderal JC Baud mengeluarkan kebijakan rasialisme yang dinamakan Wijkenstelsel. Kebijakan ini mengatur zona / wilayah permukiman berdasarkan kelompok etnis tertentu. Kebijakan ini pada akhirnya melarang orang Tionghoa tinggal ditengah kota, serta mengharuskan mereka membangun ghetto-gettho (pecinan) sebagai tempat tinggal. Tujuannya agar mereka tidak berbaur dengan kelompok masyarakat lain, terutama pribumi. Serta memudahkan pihak pemerintah Hindia Belanda untuk mengontrol wilayahnya.

Di Bogor atau yang memiliki penyebutan Buitenzorg, kebijakan Wijkenstelsel diperjelas 10 tahun kemudian. Tepatnya pada 6 Juli 1845 Gubernur Jendral JJ Rochussen menetapkan keputusan pemerintah Hindia Belanda tentang peraturan permukiman di Kota Bogor. Bangsa Eropa  yang disamakan haknya  diberi izin membangun rumah di sebelah barat Jalan Raya Pos (saat ini terbagi menjadi dua jalan, yaitu Jl Sudirman dan Jl Juanda), mulai dari Witte Paal (pal putih) Pabaton sampai dengan sebelah selatan Kebun Raya dan Pakancilan. Sementara orang Tionghoa diberi peruntukan lahan di daerah dengan jalan raya sepanjang Handlestraat sampai tanjakan Empang. Dalam perkembangannya orang  Tionghoa  diberi  peran untuk memasok barang-barang kebutuhan (berdagang), peran mereka inilah yang kian meramaikan keberadaan pasar Bogor.

Multikultural kawasan ini tergambar di kampung-kampung dibalik rumah toko itu. Kampung Gudang, Kebon Jukut, Pulo Geulis, Babakan Pasar, Sukasari hingga Bondongan.

Menyebutnya sebagai ‘pecinan’ sebenarnya sah-sah saja, karena riwayatnya memang begitu. Jika menelisik lebih dalam ke kampung-kampung sekitarannya, akulturasi dan keberagaman mudah sekali ditemui dan tak malu-malu. Masing-masing memiliki keunikan sendiri. Pulo Geulis memiliki Klenteng tua yang lebih dulu ada sebelum Vihara Dhanagun (Hok Tek Bio). Kebon Jukut selain memiliki pengrajin barong juga terdapat perguruan silat Persatuan Gerak Badan (PGB) Bangau Putih yang memiliki cabang di Eropa dan Amerika.

Saat ini keberadaan Jl Suryakencana tetap memiliki peran yang sama, yaitu meneruskan perjalanan panjang Handlestraat sebagai denyut ekonomi masyarakat. Menjadi rujukan pedagang dari luar Bogor seperti pada masa lalu.Rekonstruksi Budaya di kawasan ini beberapa tahun terakhir kembali di hidupkan. Festival budaya Cap Go Meh di sepanjang jalan ini berjalan kembali setiap tahunnya.

Anggit Saranta