Sudah sejak sekitar tahun 2013 yang lalu saya mendengar akan adanya rencana perubahan alun-alun Empang menjadi tempat parkir diawali dengan berdirinya Rumah Sakit yang cukup besar di sekitar alun-alun tersebut.Tahun ini isu tersebut kembali berhembus, lebih gawatnya lagi Pemerintah Kota Bogor sudah merasa tidak bisa melakukan apa-apa terhadap rencana perubahan peruntukan tersebut (yang tentu saja akan turut merubah lanskap alun-alun) akibat hak kepemilikan sebagai tanah wakaf, sumber dari semua informasi itu didapat dari orang dalam Pemerintah Kota Bogor. Adanya isu tersebut sangat memprihatinkan dan merefleksikan betapa rapuhnya wacana pelestarian pusaka di Kota Bogor.
Empang dan Alun-Alun Dalam Lintasan Sejarah
Empang merupakan salah satu kawasan yang memiliki sejarah panjang di Kota Bogor. Tahun 2013 lalu dalam pemetaan dan perancangan Rencana Aksi Kota Pusaka kawasan Empang masuk ke dalam salah satu kawasan prioritas pengembangan Kota Pusaka (Lebih lanjut soal program Kota Pusaka silahkan buka: http://www.kotapusaka.com). Dalam Perda no 8 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor kawasan Empang juga merupakan Kawasan Strategis Kota dari sudut pandang sosial budaya dan Masjid Empang atau juga dikenal Masjid At-Thohiriyah termasuk dalam salah satu dari 26 Kawasan Cagar Budaya di Kota Bogor yang sudah seharusnya dijaga dan dilestarikan kondisinya.
Saleh Danasasmita dalam bukunya Mencari Gerbang Pakuan yang merekonstruksi perjalanan Abraham Van Riebeeck tahun 1703, 1704 dan 1709 dalam mencari Ibu Kota Pakuan, menyebutkan bahwa lokasi alun-alun Empang yang sekarang sudah disebut-sebut oleh Van Riebeck dalam perjalanannya di tahun 1709 sebagai benedenvlakte. Saleh Danasasmita lalu menyimpulkan bahwa Alun-Alun Empang adalah bekas alun-alun luar pada jaman Pakuan, yang dipisahkan dari benteng Pakuan dengan sebuah parit yang dalam, sekarang parit ini membentang dari kampung Lolongok sampai Cipakancilan (Danasasmita, 2014).
Pasca 1745 kawasan Bogor atau pada masa itu dikenal dengan nama Buitenzorg menjadi kawasan tanah bengkok atau tanah partikelir. Kawasan ini berkembang dengan dipengaruhi praktik jual beli tanah. Pada tahun-tahun tersebut nama Empang belum dikenal, kawasan Empang masih bernama Sukahati yang lantas menjadi kawasan tempat bermukimnya Bupati Kampung Baru. Nama Empang baru diresmikan pada 28 November 1815 hampir bertepatan dengan didirikannya Masjid Empang (At-Thohiriyah) yang merupakan masjid Jami pertama di Kota Bogor. Alun-alun dan Masjid Empang lalu menjadi semacam kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Penataan ruangnya semakin mirip dengan konsep penataan ruang Catur Gatra Tunggal khas kota-kota kerajaan di Jawa, dimana terdapat empat komponen yaitu pasar atau tempat perniagaan, rumah kediaman pembesar lokal atau Bupati (Kalau di Jogja atau Surakarta ini ditandai oleh Kraton), alun-alun dan Masjid yang lantas menjadi semacam kesatuan.
Berdasarkan data foto yang dimiliki oleh kawan-kawan Kampoeng Bogor, foto tertua alun-alun Empang bertanda tahun 1875. Selain itu ada juga foto bertanda tahun 1880 dan 1900. Dari semua foto alun-alun Empang tersebut selalu menunjukkan adanya aktifitas sosial yang berlangsung di sana seperti misalnya orang-orang yang berkerumun duduk-duduk di bawah rindangnya pohon beringin. Foto-foto tersebut mengukuhkan fungsi sosial yang dimiliki alun-alun Empang sejak berabad silam.
Meningkatkan Pemahaman Soal Pusaka, Investasi Pada Masyarakat Setempat
Isu pelestarian pusaka bukanlah sebuah isu tentang romantisme dan keinginan untuk kembali hidup di masa yang lampau. Melestarikan pusaka bukan berarti membekukan kehidupan dan budaya. Poin penting dari pelestarian sesungguhnya adalah untuk menghadirkan suatu proses perkembangan selektif dan terkendali dengan menghormati sejarah serta memelihara dan melestarikan aset yang sangat berharga atau bernilai.
Pusaka sangat penting keberadaanya untuk “kesehatan” sebuah komunitas secara sosial dan budaya. Pusaka memiliki kemampuan untuk memfasilitasi komunikasi dan pembelajaran. Pusaka juga menunjukkan adanya keterhubungan dengan identitas, dimana tradisi yang tangible maupun intangible bisa membantu mendefinisikan identitas lokal melalui gagasan yang disebut oleh Robertson dan Hall sebagai “shared symbolic estate.”
Dalam kasus alun-alun Empang hal yang bisa dilakukan adalah berinvestasi untuk menciptakan pemahaman yang lebih baik kepada komunitas lokal setempat dan pemegang hak milik/kelola tentang posisi alun-alun Empang sebagai aset pusaka. Kampanye, mengadakan diskusi-diskusi publik yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di kawasan tersebut bisa dilakukan sebagai proses dalam mengkomunikasikan atribut nilai bagi alun-alun. Semua pihak pasti menyadari bahwa alun-alun telah lama menjadi semacam ruang interaksi publik sehingga memiliki nilai sosial bagi masyarakat setempat. Hal itu tentu saja perlu juga dilindungi, pelestarian alun-alun Empang bukan hanya sekedar soal melestarikan objek fisik tapi juga proses dan dimensi sosial yang telah terjadi selama ratusan tahun di sana, pemeliharaan institusi bebyaran (common) harus menjadi salah satu tujuan utama dari proses pelestarian alun-alun Empang.
Dalam semua tahapan pelestarian tersebut termasuk negosiasi nilai, peran Pemerintah tentu diharapkan berjalan maksimal baik sebagai mediator maupun fasilitator. Pemerintah Kota Bogor tidak bisa hanya diam dan pasrah lalu mengatakan “Kita tidak bisa apa-apa.” Ada baiknya sedikit kita ingatkan beberapa pasal dari UU no 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya:
- UU no 11 tahun 2010 pasal 55: Setiap orang dilarang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan upaya pelestarian cagar budaya.
- UU no 11 tahun 2010 pasal 75 tentang pemeliharaan: Setiap orang wajib memelihara Cagar Budaya yang dimiliki atau dikuasainya. Cagar Budaya yang ditelantarkan oleh pemilik dan atau yang menguasainya dapat dikuasai oleh Negara.
- UU no 11 tahun 2010 Pasal 96 tentang wewenang: Pemerintah Daerah memiliki wewenang menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang atau musnahnya cagar budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya.
Tentu saja Undang-Undang tentang Cagar Budaya ini juga memiliki ketentuan pidana bagi setiap bentuk pelanggaran.
Referensi
Danasasmita, Saleh. 2014. Mencari Gerbang Pakuan. Bandung: Kiblat.
Smith, Laurajane. 2006. Uses of Heritage. New York: Routledge.
Robertson, I., & T. Hall. 2007. “Memory Identity and the Memorialisation of Conflict in the Scottish Highlands.” In Heritage, Memory and the Politics of Identity: New Perspectives on the Cultural Landscape, edited by N. Moore and Y. Whelan, 19–36. Aldershot: Ashgate.
Reza Adhiatma