Bogor-Terpilihnya Kota Bogor sebagai tempat penyelenggaraan Kongres Kebudayaan Indonesia 2008 kian memantapkan bahwa Kota Bogor masih memiliki daya pikat. Kendati demikian, hajatan budaya berskala nasional tersebut kurang mendapatkan apresiasi dari masyarakat Kota Bogor.
Meski kongres tersebut menghadirkan puluhan seniman dan budayawan kondang, macam Putu Wijaya, Ratna Riantiarno, Djenar Maesa Ayu, Eka Budianta, Taufik Ismail, Zawawi Imron, James F. Sundah, Seno Gumira Adjidarma dan Jajang C. Noer tetap saja tak membuat masyarakat kota hujan tergerak untuk turut memeriahkan acara ini. Ingat, tuan rumah patut memberikan suguhan yang terbaik dan apresiasi setinggi-tingginya.
Bogor-Terpilihnya Kota Bogor sebagai tempat penyelenggaraan Kongres Kebudayaan Indonesia 2008 kian memantapkan bahwa Kota Bogor masih memiliki daya pikat. Kendati demikian, hajatan budaya berskala nasional tersebut kurang mendapatkan apresiasi dari masyarakat Kota Bogor.
Meski kongres tersebut menghadirkan puluhan seniman dan budayawan kondang, macam Putu Wijaya, Ratna Riantiarno, Djenar Maesa Ayu, Eka Budianta, Taufik Ismail, Zawawi Imron, James F. Sundah, Seno Gumira Adjidarma dan Jajang C. Noer tetap saja tak membuat masyarakat kota hujan tergerak untuk turut memeriahkan acara ini. Ingat, tuan rumah patut memberikan suguhan yang terbaik dan apresiasi setinggi-tingginya.
Sebuah kegiatan yang sebenarnya cukup menarik perhatian. Selama ini untuk urusan kebudayaan Kota Bogor hanya dilewati saja. Pandangan lebih eksotis diarahkan ke kota-kota yang selama ini memang melekat identitas budayanya. Artinya Kota Bogor patut bersyukur atas
terselenggaranya kegiatan kongres ini di Bogor.
Banyak faktor yang bisa menjadi ukuran. Pertama kepercayaan nasional atas kondusifnya situasi politik dan keamanan di Bogor, padahal Pilkada baru saja selesai dilaksanakan. Kedua, adanya Istana Bogor yang menjadi poros perhatian, sebagai warisan budaya. Imbasnya bisa diartikan sebagai pengakuan keberadaan berbagai peninggalan arsitektur budaya (situs, bangunan dan lainnya) di Bogor. Ketiga, kultur Bogor dianggap sesuai untuk bicara kebudayaan.
Kalau sudah begini persoalan ada pada masyarakat Bogornya. Dapatkah seluruh elemen masyarakat Kota Bogor menangkap peluang ini? Mampukah para pegiat kebudayaan, pemerintah, UKM, institusi pendidikan dan komunitas yang ada di Bogor mengambil manfaatnya. Sebagai catatan pemerintah kota baru-baru ini mengesampingkan isu penemuan BCB (Benda Cagar Budaya) dan menganggap ada isu lain yang lebih penting. Upaya yang dilakukan selama ini hanya melakukan pendataan tanpa ada upaya perlindungannya. Beberapa pegiat budaya di kota ini juga belum banyak yang bicara ‘ruang’ dan karya. Kegiatan kebudayaan belum dianggap sebagai potensi, terbukti penyelenggaraan salah satu elemen kegiatan kebudayaan, yaitu kesenian masih sering terganjal urusan birokrasi. Pihak yang memiliki kewenangan dan kompetensi juga tidak mendukung terciptanya aktivitas kebudayaan yang rutin.
Ada persoalan di apresiasi masyarakat dan akses informasi seputar aktivitas kebudayaan di Bogor. Sebagai contoh terlihat bagaimana upaya pemerintah kota memberi sambutan pada kegiatan Kongres Kebudayaan Nasional 2008, dengan melaksanakan pertunjukan seni yang sepi apresiasi. Penonton hanya ada segelintir dari peserta kongres, orang-orang sanggar dan beberapa pegiat seni. Masyarakat umum tidak terlihat banyak. Acara yang dilaksanakan di Plaza Balaikota saat itu tidak terlihat aura antusiasme warganya. Padahal materi pertunjukannya cukup menarik. Apakah persoalan ada di masyarakatnya atau gaung publikasinya yang tidak sampai. Artinya belum terlihat keseriusan menangkap peluang penyelenggaraan Kongres Kebudayaan Nasional 2008 di Kota Bogor.
Kongres boleh menjadi perhatian, tapi kita yang ada di Bogor seharusnya tidak hanya menjadi penonton saja. Harus ada upaya untuk menampilkan kekuatan yang ada di Bogor. Seluruh elemen harusnya saling mendukung. Menbudpar Jero Wacik sudah menyinggung secara rinci persoalan BCB yang terlantar di Kota Bogor. Kita seharusnya malu. Secara tidak langsung kondisi ini menampar dan menganggap Bogor sebagai kota yang tidak menghargai jasa para pendahulunya. Jauh dibandingkan dengan kota seperti Jakarta dan Solo untuk perhatian budayanya. Salam budaya,.
(Artikel ini dimuat juga di http://www.jurnalbogor.com/?p=4140 )